Oleh Dr Ilham Kadir, MA, Dewan Pembina Ikatan Alumni Beasiswa BAZNAS RI
Namanya Alkausar, umurnya tujuh puluh dua tahun. Di usia senja seperti ini, sewajarnya seorang ibu harus menikmati jerih payahnya karena telah membesarkan sebelas anak yang lahir dari rahimnya. Namun apa lacur, anak-anak yang seharusnya berbakti pada ibu yang dengan susah payah mengandung dan mengasuh mereka justru ada di antara mereka yang tega menyakiti ibunya.
Anak itu memiliki nama yang baik (Asmaul Husna), semua jenjang pendidikan ditempuhnya, dan menjadi pejabat negara dan publik di kotanya, Kota Takengon, Aceh Tengah. Kini, anak sulung dari sebelas bersaudara itu telah melayangkan gugatan atas rumah warisan ayahnya dengan pendaftaran perkara bernomor 9/dt.G/2021/PN Tkn tanggal 19 Juli 2021. Selain itu, ia juga meminta ganti rugi sebesar 700 juta rupiah kepada ibunya.
Berkata Al-Kausar, dulu pernah dia minta sertifikat rumah ini dengan alasan agar tidak hilang. Karena dia anak yang paling besar, saya percaya dan menyerahkan sertifikat itu untuk disimpan. Setelah bapaknya meninggal, tahu-tahu dia mengatakan kalau rumah ini untuk dia. (Serambinews.com, 17/11/2021).

Narasi di atas membawa kita pada beberapa persoalan mendasar dalam agama Islam, anutan utama masyarakat Aceh. Bagaimana kedudukan harta dalam Islam? Bagaimana status harta orang tua ketika masih hidup? Dan apa kewajiban anak terhadap ibunya? Amma ba'du!
Pertama. Prinsip dasarnya adalah segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Sang Pencipta, Allah, Tuhan semesta alam. Manusia hanya berstatus sebagai khalifah, atau wakil Allah untuk menjaga dan melestarikan bumi agar teratur kehidupan segenap makhluk ditandai dengan ekosistem yang baik. Setiap manusia berkewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dianjurkan agar memiliki harta yang banyak untuk bisa berbagi pada sesama dengan berzkat, berinfak, atau berwakaf. Selain itu, sebagai bekal ketika tak mampu lagi bekerja namun masih butuh biaya hidup.
Jadi kedudukan harta dalam pandangan Islam adalah sebagai amanah dan titipan Allah kepada manusia, jika masanya tiba, titipan itu wajib dikembalikan. Dalam sebuah syair penuh makna, orang Arab berkata, Wamal maal wal ahluun illa wada'i. Fa laa budda minal ayyam an taruddal wada'i. "Harta dan keluarga merupakan titipan. Dan suatu hari nanti titipan itu harus dikembalikan pada pemiliknya."
Tidak hanya sampai di situ, setelah kematian pun, semua hartanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan pemilik asalnya. Inilah yang disitir dari Hadis Nabi, "Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba di hari kiamat sehingga ditanya dengan empat macam, yaitu: terkait umurnya habis digunakan untuk apa; jasadnya rusak digunakan untuk apa; ilmunya bagaimana mengamalkannya; hartanya dari mana mencari dan kemana membelanjakannya. (HR. Ibnu Hibban dan At Tirmizi).
Kedua. Harus dipahami benar bahwa anak dan harta anak adalah milik orang tua, karena itu orang tua punya hak untuk memakan dan menggunakan fasilitas yang didapatkan dari hasil keringat anaknya dengan tidak berlebihan. Banyak hadis yang khusus menjelaskan kasus ini.
Sebut saja, Dari Aisyah, Nabi bersabda, “Anak seseorang itu termasuk jerih payah orang tersebut, bahkan termasuk jerih payahnya yang paling bernilai. Maka makanlah sebagian harta anak.” [HR. Abu Daud, no.3529 dan dinilai sahih oleh Al-Albani].
Sumber: aceh.tribunnews.com